SEJARAH PONDOK PESANTREN AN-NAFI’IYAH DAN PENGASUHNYA
Pondok Pesantren An-Nafi’iyah terletak di desa Kampak, kecamatan Geger, Kabupaten Bangkalan Madura. Pondok An-Nafi’iyah adalah lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan keagamaan dan kemasyarakatan. Namun dalam waktu bersamaan ia tidak abai dengan perkembangan zaman yang terus berubah dan membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Karena itu, disamping pembelajaran al-Qur’an dan kitab kuning sebagaimana umumnya lembaga pendidikan pondok pesantren, An-Nafi’iyah sejak awal berdirinya telah memandang perlunya memadukan pendidikan agama dan umum. Dengan perpaduan antara kedua macam ilmu ini, diharapkan terlahir dari pesantren ini generasi Muslim yang berakar kuat dalam tradisi Islam, berakhlak mulia, serta mampu menghadapi tantangan zaman yang terus berubah dengan sangat cepat.
Kisah Pendirian Pondok Pesantren An-Nafi’iyah
KH. Nafi’ih adalah seorang tokoh agama yang juga dikenal sebagai petani dan peternak sapi yang sukes di desa Kampak. Pada masa mudanya beliau menimba ilmu kepada beberapa ulama’ besar di Bangkalan. Selain nyantri di Paserean Arosbaya, beliau juga mengaji kepada Kiai Muntashor Demangan, seoang ulama’ yang dikenal sangat wara’ dan merupakan menantu dari kiai Imron putra Syaikhona Kholil Bangkalan. Setelah menimba ilmu di Paserean dan Demangan, KH. Nafi’ih memilih Batukapah, salah satu dusun di desa Kampak kecamatan Geger kabupaten Bangkalan, sebagai tempat mengabdi dan mengajarkan ilmunya kepada masyarakat. Bersama istrinya, Hj. Maimunah, beliau dikarunia 12 orang putra dan putri. KH. Mudzakkir pengasuh pondok pesantren An-Nafi’iyah sekarang.
KH. Mudzakir yang lahir pada tahun 1961 M., sejak kecil dikenal sebagai pemuda yang disiplin dan pekerja keras. Setelah mengaji kepada ayahnya sendiri beliau mengembara menuntut ilmu ke berbagai pasantren, mulai dari pesantren Syaikhana Khalil di Demangan, Pesantren Panyeppen di Pamekasan, Pesantren Sidogiri di Pasuruan sampai pesantren Syaikh Ismail Zain di Mekkah.
Dari pendidikan yang beliau dapatkan di pesantren-pesntren tersebut, tertanam dalam diri beliau sebuah prinsip bahwa hidup harus memberi manfaat terhadap orang lain. Beliau sangat terpengaruh dengan sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberi manfaat kepada manusia.” Namun untuk bisa banyak memberi manfaat itu, beliau harus mau bekerja keras dan tidak boleh bergantung kepada orang lain. Karena itu, ketika masih di pesantren, beliau tidak hanya mempelajari ilmu agama, akan tetapi juga mempelajari kedisiplinan dan berbagai keterampilan. Bahkan sampai sekarang, kedisplinan inilah yang selalu beliau pesankan kepada anak-anak dan murid-muridnya. “Satu detik bagi pengusaha adalah uang, satu detik bagi tentara adalah nyawa, dan satu detik bagi pelajar adalah ilmu.” Demikian pesan yang seringkali beliau sampaikan.
Terdorong oleh cita-cita luhur untuk menjadi manusia yang banyak memberikan manfaat kepada orang lain itulah, setelah lama berkelana menuntut ilmu di berbagai pesantren, Kiai Mudzakkir merasa terpanggil untuk mengembangkan kegiatan pendidikan yang telah dirintis oleh ayahnya. Beliau merasa risau melihat kondisi masyarakat di desanya yang masih banyak belum bisa membaca dan menulis. Kerisauan itu, beliau ungkap kan kepada istrinya, Hj. Badriayah. Bermula dari percakapan kecil itu, timbul kesepakatan antara Kiai Mudzakkir dan Hj. Badriyah untuk mendirkan sebuah lembaga pendidikan yang bisa membawa perubahan terhadap masyarakat di desanya.
Kiai Mudzakkir mengusulkan untuk mendirikan Madrasah Diniyah yang hanya mengajarkan mata pelajaran agama, karena menurut beliau, pendidikan Agama jauh lebih penting. Namun usulan tersebut tidak disetujui oleh ibu Badriyah. Beliau mengusulkan untuk mendirikan sekolah yang mengajarkan ilmu agama dan umum. Usulan sang isrti itu, ternyata disambut dengan baik oleh Kiai Mudzakkir. Maka tepat pada hari rabu, tanggal 27 Januari 1988 M., Kiai Mudzakkir dan Hj. Badriyah membuka MI dengan mengumpulkan anak-anak didik yang mengaji kepada beliau di Surau pada malam dan pagi hari. Dengan memakai fasilitas seadanya yang berupa balai kecil yang terbuat dari bambu yang berlubang disana-sini, ibu Hj. Badriyah memulai sekolah tersebut dengan pembukaan Basmalah dan doa doa penuh pengharapan dan barokah.
Saat itu kondisi MI sangatlah memprihatinkan, selain tidak memiliki kelas yang kondusif, balai tersebut juga menumpang dari rumah kecil milik Kiai Mudazkkir. Rumah dan surau terbuat dari bambu, yang jika musim panas kepanasan dan musim hujan kehujanan apalagi lokasinya berada persis di tengah hutan yang memiliki pohon-pohon besar dan dikelilingi sungai sehingga akses transportasi untuk keluar dari Dusun saat tu sangat kesulitan, termasuk listrik saat itu belum masuk ke desa.
Untuk memfasilitasi pengajian di Surau, Kiai Mudzakkir dan istrinya mengunakan lampu minyak yang sering mati tertiup angin dan harus sering dinyalakan kembali. Demi menghidupkan lembaga itu, Kiai Mudzakkir dan isrinya harus bekerja keras, karena untuk meminta uang sumbangan pada siswa sangat tidak mungkin karena siswa saat itu juga berasal dari keluarga tidak mampu.
Pada saat itu, terjadi kesepakan antara Kiai Mudzakkir dengan isrinya untuk berbagi tugas. Kiai Mudzakkir lebih bamyak fokus di surau mengajarkan kitab, sementara Hj. Badriyah lebih banyak fokus di MI. Hj. Badriyah sampai 3 tahun hanya mengajar seorang diri. Kondisi seperti itu terus berlanjut sampai pertengahan tahun 1990. Di pertengahan tahun ini, beliau mampu untuk sedikit merenovasi kelas yang semula berdinding bambu menjadi bersemen.
Dalam upaya memajukan lembaga pendidikan serta untuk pengabdian kepada masyarakat, Kiai Mudzakkir juga berusaha mempermudah akses tansportasi masyarakat. Beliau mulai membangun jembatan yang menjamur di daerah Batu kapah, menjadi jembatan bersemen di atas sungai yang semula hanya berupa jembatan yang terbuat dari beberapa bambu. Beliau juga membuat jalan, membakar hutan-hutan yang dianggap menggangu jalan agar bisa digunakan masyarakat luas, juga memperluas sumber mata air di Dengkonyik yang tadinya hanya sumber kecil yang tidak diperhatikan masyarakat.
Ditulis oleh Abdul Ghoffar Mahasiswa STIT Al-Ibrohimy Bangkalan memenuhi tugas UAS Mata Kuliah Aswaja dan Studi Pesantren.
Dosen Pengampu : Subaidi, S.Pd, M.Ag
0 komentar:
Posting Komentar