A. SEJARAH BERDIRI
Tarbiyatul Mu’allimien al-Islamiyah (TMI) adalah lembaga pendidikan tingkat menengah yang paling tua di lingkungan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN. TMI—dengan bentuknya yang sangat sederhana—telah dirintis pendiriannya sejak pertengahan tahun 1959 oleh Kiai Djauhari Chotib (pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan). Selama kurang lebih 10 tahun, Kiai Djauhari mengasuh lembaga ini di lokasi Pondok Tegal sampai beliau wafat pada bulan Juli 1970.
Setelah Kiai Djauhari wafat, usaha rintisan awal ini pun dilanjutkan oleh putra-putra dan santri-santrinya antara lain dengan melakukan langkah-langkah pendahuluan sebagai berikut: Pertama, membuka lokasi baru seluas kurang lebih 6 ha, amal jariyah dari santri-santri Kiai Djauhari, yang terletak 2 km di sebelah bara lokasi lama. Kedua, membentuk “tim kecil” yang beranggotakan 3 orang (yaitu Kiai Muhammad Tidjani Djauhari, Kiai Muhammad Idris Jauhari, dan Kiai Jamaluddin Kafie), untuk menyusun kurikulum TMI yang lebih representatif. Ketiga, mengadakan “studi banding” ke Pondok Modern Gontor dan pesantren-pesantren besar lainnya di Jawa Timur, sekaligus memohon doa restu kepada kiai-kiai sepuh pada saat itu, khususnya Kiai Ahmad Sahal dan Kiai Imam Zarkasyi Gontor, untuk memulai usaha pendirian dan pengembangan TMI dengan sistem dan paradigma baru yang telah disepakati.
Setelah melewati proses pendahuluan tersebut, maka pada hari Jum’at, tanggal 10 Syawal 1391 atau 3 Desember 1971, TMI (khusus putra) dengan sistem dan bentuknya seperti yang ada sekarang secara resmi didirikan oleh Kiai Muhammad Idris Jauhari, dengan menempati bangunan darurat milik penduduk sekitar lokasi baru. Dan tanggal inilah kemudian yang ditetapkan sebagai tanggal berdirinya TMI AL-AMIEN PRENDUAN.
Sedangkan TMI (khusus putri) atau yang lebih dikenal dengan nama Tarbiyatul Mu’allimaat al-Islamiyah (TMaI) dibuka secara resmi 14 tahun kemudian, yaitu pada tanggal 10 Syawal 1405 atau 19 Juni 1985, oleh Nyai Anisah Fatimah Zarkasyi, putri Kiai Zarkasyi dan istri (alm) Kiai Tidjani Djauhari.
Visi dan Misi Lembaga
Visi TMI AL-AMIEN PRENDUAN semata-mata untuk ibadah kepada Allah swt., dan mengharap ridlo-Nya (sebagaimana tercermin dalam sikap tawadlu’, tunduk dan patuh kepada Allah swt., dalam seluruh aspek kehidupan). Mengimplementasikan fungsi Khalifah Allah di muka bumi (sebagaimana tercermin dalam sikap proaktif, inovatif, kreatif dan produktif).
Sedangkan misinya adalah mempersiapkan individu-individu yang unggul dan berkualitas menuju terbentuknya umat terbaik yang pernah dikeluarkan untuk manusia (khairo ummah). Sebagai misi khususnya adalah mempersiapkan kader-kader ulama dan pemimpin umat (mundzirul qoum) yang muttafaqih fid dien; yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan dakwah ilal khair, ‘amar ma’ruf nahi munkar dan indzarul qoum.
Jenjang Pendidikan dan Masa Studi
TMI adalah lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah yang berarti setingkat dengan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, atau dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU). Ada dua program pendidikan yang ditawarkan TMI, yaitu:
– Program reguler (kelas biasa), untuk tamatan SD/MI dengan masa belajar 6 tahun.
– Program intensif, untuk tamatan SMP/MTs dengan masa belajar 4 tahun.
Selain kedua program tersebut, juga dibuka program Kelas Persiapan atau Syu’bah Takmiliyah, bagi mereka yang tidak lulus dalam ujian masuk atau tidak memenuhi syarat-syarat minimal untuk duduk di kelas satu. Kelas persiapan ini memiliki dua jenis program: Syu’bah Tamhidiyah bagi tamatan SD/MI, dan Syu’bah I’dadiyah bagi tamatan SMP/MTs.
Materi dan Komponen Pendidikan
Secara garis besar, materi atau subyek pendidikan di TMI Al-AMIEN PRENDUAN meliputi 7 (tujuh) jenis pendidikan, yaitu:
Pendidikan keimanan (aqidah dan syariah).
Pendidikan kepribadian dan budi pekerti (akhlak karimah)
Pendidikan kebangsaan, kewarganegaraan dan HAM.
Pendidikan keilmuan (intelektualitas).
Pendidikan kesenian dan keterampilan vokasional (kestram).
Pendidikan olahraga, kesehatan dan lingkungan (orkesling).
Pendidikan kepesantrenan (ma’hadiyat).
Ketujuh jenis pendidikan tersebut dijabarkan dalam bentuk beberapa Bidang Edukasi (BE—bukan Bidang Studi) yang diprogram sesuai dengan kelas atau tingkat pendidikan yang ada dengan alokasi waktu yang fleksibel. Kemudian sesuai dengan target kompetensi yang harus dikuasai oleh santri, maka Bidang Edukasi tersebut dikelompokkan menjadi 2 kelompok kompetensi yaitu Kompetensi Dasar (Komdas) dan Kompetensi Pilihan (Kompil).
Kompetensi Dasar (Komdas) adalah kompetensi-kompetensi dasar umum yang harus dikuasai oleh seluruh santri, tanpa kecuali, sesuai dengan target yang telah ditetapkan pada kelas-kelas tertentu. Komdas ini meliputi 2 kelompok Bidang Edukasi, yaitu Komdas A dan Komdas B. Komdas A meliputi Ulum Tanziliyah ‘Studi Islam’ (Al-Qur’an wa Ulumuhu, Al-Hadits wa Siroh Nabawiyah, Ilmu Tauhid wal Akhlaq, dan Ilmu Fiqh wa Ushuluhu), Ulum Wathoniyah ‘Kurikulum Nasional’ (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Matematika dan Logika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris), Ulum Ma’hadiyah ‘Kurikulum Kepesantrenan’ (Bahasa dan Sastra Arab, Ilmu-ilmu Pendidikan dan Keguruan, Dasar-dasar Riset dan Jurnalistik).
Sedangkan Komdas B, mencakup 5 Bidang Edukasi, yaitu Pendidikan Kepesantrenan, Pendidikan Kepanduan dan Kebangsaan, Pendidikan Olahraga, Kesehatan dan Lingkungan, Pendidikan Kesenian dan Keterampilan Vokasional, dan Pendidikan Khusus Kewanitaan.
Kompetensi Pilihan (Kompil) adalah kompetensi-kompetensi khusus yang harus dikuasai oleh santri-santri tertentu, sesuai dengan bakat, minat, kecenderungan, dan pilihannya masing-masing. Kompil ini meliputi 2 kelompok Bidang Edukasi, yaitu Kompil A mencakup 4 jenis pilihan, yaitu ‘Ulum Tanziliyah dan Bahasa Arab, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam/Sains, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Bahasa Inggris, Bahasa dan Sastra Indonesia.
Sedangkan Kompil B, mencakup 8 jenis pilihan, yaitu Saka-saka dan Resus-resus Pramuka, Klub-klub Penelitian dan Pengkajian Ilmiah, Bahasa, Olahraga, Kesenian, Palang Merah Remaja (PMR), Pecinta Alam dan Lingkungan serta kursus-kursus keterampilan dan kejuruan.
🔹Pengakuan Ijazah
Sejak tahun 1982, ijazah TMI AL-AMIEN PRENDUAN telah memperoleh pengakuan persamaan (mu’adalah) dengan sekolah-sekolah menengah atas, di negara-negara Islam di Timur Tengah, antara lain :
Dari Al-Jami’ah al-Islamiyah Madinah al-Munawwaroh, dengan SK No. 58/402 tertanggal 17/8/1402 (tahun 1982).
Dari Jami’ah Malik Abdil Aziz (Jami’ah Ummil Quro) Makkah al-Mukarromah, dengan SK No. 42 tertanggal 1/5/1402. (tahun 1982).
Dari Jami’ah Al-Azhar Cairo, dengan SK No. 42 tertanggal 25/3/1997.
Dari International Islamic University Islamabad, Pakistan dengan surat resmi tertanggal 11 Juli 1988.
Dari Universitas Az-Zaytoun Tunisia, dengan surat resmi tertanggal 21 Maret 1994.
Sedangkan di dalam negeri, ijazah TMI AL-AMIEN PRENDUAN telah mendapat pengakuan dari berbagai lembaga, baik negeri maupun swasta, antara lain
Dari Pimpinan Pondok Modern Gontor (diakui setara dan sederajat dengan KMI Gontor) dengan SK No. 121/PM-A/III/1413, tertanggal 25 September 1992
Dari Departemen Agama RI. (diakui setara dan sederajat dengan MTsN dan MAN), dengan SK Dirjen Binbaga No. E.IV/PP.032/KEP/80/98, tertanggal 9 Desember 1998.
Dari Departemen Pendidikan Nasional RI. (diakui setara dan sederajat dengan SMUN), dengan SK. Menteri Pendidikan Nasional No. 106/0/2000, tertanggal 29 Juni 2000.
🔹Organisasi Santri
Salah satu sunnah/tradisi kepesantrenan yang berjalan di TMI adalah bahwa kehidupan santri sehari-hari di luar jam sekolah formal dikelola oleh para santri sendiri, dengan falsafah “Dari, Oleh dan Untuk Santri”. Pengelolaan ini dilaksanakan melalui organisasi santri, yaitu Ikatan Santri TMI Putra (ISMI), dan Ikatan Santri TMI Putri (ISTAMA). Organisasi itu memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai pembantu Bapak Kiai dan Ibu Nyai dalam proses pendidikan, sebagai media latihan berorganisasi dan praktik pendidikan kepemipinan dan manajemen, serta sebagai penyalur aspirasi seluruh santri dan penghuni pondok.
B. BIOGRAFI PENDIRI
Moh. Tidjani dilahirkan pada 23 Oktober 1945 di Prenduan, sebuah desa kecil 22 km di sebelah timur kota Pamekasan dan 30 km di sebelah barat kota Sumenep. Kelahirannya menyempurnakan suara genderang kemerdekaan bangsa Indonesia dari cengkraman kolonialisme. Mendidihkan gemuruh jihad para mujahid fi sabilillah ketika mempertahankan harkat dan martabat bangsa Indonesia dengan segala jiwa dan raga. Saat itu, Prenduan, juga kota-kota lainnya di Indonesia, berada dalam euforia kemerdekaan setelah 350 tahun lamanya hidup dalam kerangkeng penjajah.
Moh. Tidjani adalah putera keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya, KH. Djauhari Chotib, adalah seorang ulama besar, tokoh Masyumi, dan pendiri Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Kepemimpinan KH Djauhari di Hizbullah, berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter dan mental kepemimpinan Tidjani di masa mendatang.
Ditilik dari silisilah ayahnya, ada darah keturunan KH. As’ad Syamsul Arifin, ulama kharismatik pendiri PP. Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo, mengalir di jiwanya. “Almarhum Kiai As’ad Syamsul Arifin adalah sepupu dari nenek saya. Jadi masih keluarga sendiri,’ tukasnya suatu ketika. Sedangkan dari pihak ibunya, Nyai Maryam, ia adalah keturunan Syaikh Abdullah Mandurah, salah satu muthowib di Mekkah asal Sampang, Madura, yang banyak melayani jamaah haji Indonesia.
Sejak kecil, Moh. Tidjani tumbuh berkembang dalam ranah pendidikan Islam yang sangat kental. Hal itu tak lepas peran ayahnya, Kiai Djauhari, yang berobsesi kelak Tidjani mampu menjelma pribadi muslim yang memiliki mental dan kepribadian yang tangguh. Karena itu, Tidjani kecil sangat akrab dan menikmati pendidikan keagamaan yang telah diterimanya sejak kecil. Tahun 1953, Tidjani menapakkan kakinya di bangku Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ulum Al-Washiliyah (MMA). Di sinilah, ia memulai belajar dasar-dasar ilmu pengetahuan. Hari-hari baginya adalah kesempatan emas untuk mengasah diri dan memperluas wawasan keilmuan. Tidjani sebagai matahari kecil mulai menebarkan cahaya. Cahayanya menelisik dan meranumkan senyum masyarakat Prenduan saat itu yang menaruh harapan besar di pundaknya.
🔹Dari Gontor ke Saudi Arabia
Mengetahui minat dan bakat intelektual yang terpendam dalam Tidjani cukup besar, tahun 1958, Kiai Djauhari mengirimnya untuk nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor. Apalagi, Kiai Djauhari cukup kagum dengan sistem dan pola pendidikan modern yang diterapkan di pondok pimpinan KH. Imam Zarkasyi itu. Sebuah pondok yang tidak mengenal kamus dikhotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Di sinilah, Tidjani memulai petualangan ilmu pengetahuannya. Tidak saja ilmu-ilmu keagamaan an sich yang ia pelajari, melainkan juga keterampilan dasar kepemimpinan dan manajemen. Tidjani dikenal santri yang cerdas. Tak ayal, prestasi akademik tertinggi pun selama nyantri Gontor diraihnya.
Bulan Januari 1964, Tidjani tamat dari KMI Gontor dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Darussalam (PTD) (ISID sekarang, red) sekaligus menjadi guru KMI Gontor. Waktu itu, Tidjani dipercaya sebagai sekretaris Pondok dan staf Tata Usaha PTD. Jabatan ini tergolong baru di Gontor. Jadilah Tidjani sebagai sekretaris pertama di Pondok Modern Gontor. Posisi sebagai sekretaris ia manfaatkan dengan maksimal. Jabatan inilah yang memungkinkannya untuk melakukan interaksi secara luas dengan berbagai pihak secara intens, tak terkecuali dengan (alm) KH. Imam Zarkasyi, yang kelak menjadi mertuanya, setelah Tidjani mempersunting putrinya, Anisah Fathimah Zarkasyi. Inilah kado paling berharga dalam petualangan panjang Tidjani belajar di Gontor, sekaligus menandai lahirnya babak baru komunikasi edukatif antara Al-Amien dan Gontor.
Setelah mengabdi setahun di Gontor, tahun 1965, Tidjani melanjutkan studinya di Universitas Islam Madinah. Ia diterima di Fakultas Syariah. Kesuksesan studinya di universitas ini, di antaranya, berkat usaha kakeknya, Syeikh Abdullah Mandurah. Tahun 1969, Tidjani tamat belajar tingkat license dari Fakultas Syariah Jamiah Islam Madinah dengan predikat mumtaz. Tak puas, tahun 1970, Tidjani melanjutkan studi magisternya di Jamiah Malik Abdul Aziz, Mekkah, hingga akhirnya lulus tahun 1973, dengan tesis “Tahqiq Manuskrip Fadhail Al-Quran wa Adaabuhu wa Muallimuhu li-Abi Ubaid Al-Qosim” (Keistimewaan Al-Quran: Etika dan Rambu-rambunya dalam Perspektif Abu Ubaid Al-Qosim). Sebuah kajian mendalam tentang sebuah manuskrip kitab tentang Al-Quran yang dikarang oleh Abu Ubaid Al-Qosim, seorang ulama Syam, yang hidup sezaman dengan Imam Syafi’ie. Bahasa asli kitab ini masih menggunakan bahasa Romawi. Untuk kepentingan inventarisasi dan pendalaman bahan penelitian ini, Tidjani menjelajahi perpustakaan-perpustakaan di Turki, Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Spanyol hingga Mesir. Alhasil, penjelajahan intelektual-akademisi yang cukup melelahkan itu mengantarkannya meraih predikat mumtaz (cum laude) dari Jamiah Malik Abdul Aziz, Mekkah.
Selain aktivitas kampus, sejak 1967-1986, Tidjani aktif berkiprah dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI), Saudi Arabia, baik sebagai sekretaris, ketua, dan terakhir tercata sebagai penasihat PPI.
🔹Menggayuh Karier di Rabithah ‘Alam Islami
Kisah ini bermula ketika M. Natsir – dai, ulama, politisi, ketua Partai Masyumi, dan mantan Perdana Menteri Pertama Republik Indonesia (1950-1951) — menghadiri undangan sebagai tamu pemerintah Saudi Arabia untuk mengetahui tim ulama dari Saudi Arabia, Irak, Tunisia, Maroko dan Mesir guna mengantisipasi problematika tanah Quds setelah jatuh ke tangan Zionis Yahudi tahun 1967. Saat itu, M. Natsir tercatat sebagai anggota Rabithah Alam Islami dan Muktamar Alam Islami. Kedatangan M. Natsir dimanfaatkan oleh Tidjani untuk berkenalan dan bersilaturrahim. Tidjani mengagumi sosok M. Natsir sebagai pibadi besar dan berwibawa. Tidjani masih tercatat sebagai mahasiswa di Jamiah Islamiyah Madinah.
Dalam kunjungan selanjutnya, M. Natsir mendengar ada putra Indonesia yang meraih predikat terbaik di Jamiah Malik Abdul Aziz, Mekkah. Mengetahui itu, M. Natsir takjub dan segera mencari informasi siapa putra Indonesia itu. Yang kemudian diketahui bernama Moh. Tidjani. Atas prestasi yang dicapainya itu, tahun 1974, M. Natsir merokemendasikan Tidjani untuk diterima bekerja di Rabithah Alam Islami. Sejak tahun itulah, Tidjani resmi berkarier di Rabithah Alam Islami dengan jabatan pertama sebagai muharrir (koresponden) yang tugas mengurusi surat-menyurat yang datang dari berbagai penjuru dunia. “Pak Natsir minta saya agar tidak pulang ke Indonesia dan belajar dulu di Rabithah. Saya menerima nasihat tersebut,” kenang Tidjani.
Kariernya di Rabithah melesat cepat. Beberapa jabatan penting pernah direngkuhnya, antara lain: Anggota Bidang Riset (1974-1977), Sekretaris Departemen Konferensi dan Dewan Konstitusi (1977-1979), Direktur Bagian Penelitian Kristenisasi dan Aliran-aliran Modern yang Menyimpang (1979-1981), Direktur Bagian Keagamaan dan Aliran-aliran yang Menyimpang (1983-1987), dan Direktur Bagian Riset dan Studi (1987-1988).
Keaktifannya di Rabithah Alam Islami inilah yang mengantarkannya menjelajahi berbagai negara di belahan dunia: Eropa, Afrika, Amerika, dan Asia. Di antaranya, tahun1976, Tidjani mengikuti Konferensi Islam di kota Dakkar, Senegal. Pada tahun yang sama, hadir dalam Konferensi Islam Internasional di Mauritania, Afrika. Tahun 1977, Tidjani mengikuti Seminar Hukum Islam di Chou University, Tokyo, Jepang. Sementara pada tahun 1978, Tidjani mengikuti Pertemuan Lintas Agama di Velenova University, Philadelpia dan Dallas, Texas, Amerika Serikat.
Antara tahun 1978-1982, Tidjani terpilih sebagai salah wakil Rabithah yang dikirim sebagai tim rekonsiliasi untuk menuntaskan masalah muslim Mindanau, Piliphina. Tugas yang sama dibebankan kepadanya, ketika tahun 1983, dikirim sebagai tim rekonsiliasi masalah politisasi agama di Burma dan konflik di Bosnia. Pada tahun ini pula, Tidjani mengikuti Pertemuan Lintas Agama di Birmingham dan Leeds University, Inggris.
🔹Berlabuh di Al-Amien Prenduan
Ketika kariernya Rabithah Alam Islami berada di puncak. Tidjani memutuskan untuk pulang kampung halaman. Ibarat kacang, Tidjani tidak pernah lupa kulitnya. Bulan Januari 1989, Tidjani beserta keluarga tiba di Indonesia setelah kurang lebih 23 tahun lamanya bermukin di Tanah Suci, Mekkah. Tidjani sudah mencicipi asin garam perjalanan dakwah lewat organisasi Rabithah Alam Islami. Bahkan, manis pahitnya kebudayaan Timur Tengah sudah ia rasakan. Dalam komunikasi Bahasa Arab, boleh dikatakan, lisan Tidjani adalah lisan Arab.
Kepulangannya di Al-Amien Prenduan disambut gegap gempita. Tidjani memaknainya sebagai babak baru perjalanan dakwahnya, khususnya di bidang pendidikan. Misinya adalah merealisasikan dan menyempurnakan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, yang telah didirikan oleh ayahnya, Kiai Djauhari Chotib, tahun 1971, menjadi lembaga pendidikan Islam ala Gontor yang berkualitas, kompetitif, dan bertaraf internasional.
Bersama Idris Jauhari, adiknya, yang lebih awal eksis membina pondok sejak tahun 1971 dan Maktum Jauhari, adiknya, yang tiba dari Kairo, Mesir, setahun kemudian. Serasa mendapat amunisi baru, ketiganya, ditambah unsur pimpinan yang lain, bergerak cepat melakukan pembenahan dan penyempurnaan. Hasilnya, di antaranya, adalah pembangunan Masjid Jami’ Al-Amien (1989) dan membuka Ma’had Tahfidzil Quran (MTA) (1991) serta mengembangkan status Sekolah Tinggi Agama Islam menjadi Institut Dirosah Islamiyah Al-Amien (IDIA), dan pendirian Pusat Studi Islam (Pusdilam) (2003).
Dalam kurun waktu 18 tahun (1989-2007), Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan telah menjelma sebagai pondok yang representatif, disegani, dan berwibawa, sekaligus sebagai pondok tempat menyiapkan kader-kader pemimpin umat yang kompeten dan mumpuni. Hingga September 2007, sebanyak 5.243 santri, yang berdatangan dari seluruh penjuru Indonesia dan negera-negara tetangga, belajar dan menempa diri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan.
🔹Dari Madura untuk Bangsa
“Jangan membangun di Madura, tapi bangunlah Madura,” demikian tegas Tidjani, pada sebuah kesempatan, menyikapi rencana industrialisasi Madura yang didahului dengan pembangunan jembatan Suramadu. Timbulnya dampak negatif-destruktif dari pembangunan Suramadu menjadi kekhawatiran banyak pihak, tak terkecuali Kiai Tidjani. Bersama ulama se Madura yang tergabung dalam Badan Silaturrahim Ulama Pesantren Madura (BASSRA), Tidjani melakukan serangkaian kegiatan, agar nantinya, pembangunan di Madura berjalan dalam koridor yang selaras dengan nilai-nilai budaya Madura yang islami. Ia menolak keras eksploitasi Madura demi kepentingan ekonomi semata.
Ide segarnya tentang “provinsiliasi Madura” hingga menjadikan Madura sebagai “Serambi Madinah” mendapat respon positif dari berbagai kalangan. Respon itu seperti tertuang dalam Hasil Kesimpulan Seminar Ulama Madura tentang Pembangunan dan Pengembangan Madura (1993), Piagam Telang Madura (1997), Rumusan Sarasehan “Menuju Masyarakat Madura yang Madani” (1999), Deklarasi Sampang (2006).
Terkait pebangunan di Madura, Tidjani menegaskan ada dua (2) hal yang harus segera dilakukan. Pertama, pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat Madura berdasarkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang kokoh untuk meminimalisir dampak pembangunan. Kedua, pendidikan. Pendidikan terkait dengan penyiapan SDM yang berkualitas, hingga nantinya masyarakat Madura mampu memanfaatkan pembangun bukan malah dimanfaatkan oleh pembangunan. Nantinya, masyarakat Madura tidak lagi menjadi “orang asing” di negerinya sendiri.
Layaknya seorang kiai, sayap dakwah yang dikembangkan Tidjani tidak saja berputar pada persoalan Madura saja, totalitas pengabdian dan kiprahnya menjangkau segala persoalan bangsa, baik sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lainnya.
Tidjani berusaha merekam segala detail persoalan dan problematika yang dihadapi umat Islam saat ini. Ketika aksi pornografi dan pornoaksi merebak dan meresahkan masyarakat, Tidjani beserta ulama BASSRA membuat pressure agar persoalan ini segera dituntaskan. Saat umat Islam Palestina diinjak-injak martabatnya oleh Zionis Yahudi, Tidjani, lewat BASSRA, mengutuk keras aksi biadab Zionis Yahudi dan menyerukan aksi solidaritas dari seluruh umat Islam sedunia.
Kecendekiawanan dan ketokohannya memantik apresiasi positif dari berbagai pihak. Berbagai posisi penting pernah diembannya. Antara lain, Ketua Forum Silaturrahmi Pimpinan Pondok Pesantren Alumni Pondok Modern Gontor (1992-2007), Dewan Pakar ICMI Jatim (1995-2000), salah seorang pendiri Badan Silaturrahmi Pondok Pesantren (BSPP) (1998), dan Ketua II Majlis Ma’had Aly Indonesia (2002)
Setelah 62 tahun, Tidjani mengabdikan dirinya untuk umat dan bangsa. Allah memanggilnya ke haribaan-Nya dengan senyum, Kamis dini hari (27/9) sekitar pukul 02.00 WIB di kediamannya. Almarhum wafat akibat penyakit jantung. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan ini meninggalkan seorang istri (Ny. Hj. Anisah Fathimah Zarkasyi), 3 putra (KH. Ahmad Fauzi Tidjani, MA, Imam Zarkayi, Abdullah Muhammadi), 5 putri (Hj. Shofiyah, Hj. Aisyah, Afifah, Amnah, dan Syifa’), dan 2 cucu (Syafiqoh Mardiana dan Ayman Fajari).
Disusun oleh Nuril Jannatin NZ Mahasiswi STIT Al-Ibrohimy Bangkalan memenuhi tugas UAS Mata Kuliah Aswaja dan Studi Pesantren.
0 komentar:
Posting Komentar